Tiga malam sudah dilaluinya dengan menangis. Menangis dalam penyesalan yang tak berkesudahan. Menangis karena sebuah keputusan yang sudah terlanjur diputuskan.
Andai saja kau datang dua bulan yang lalu, bisiknya kepada angin malam dalam isak
Pencarianku usai sudah,mas. Pada akhirnya aku sadar bahwa hanya engkaulah satu-satunya laki-laki yang pantas kudampingi dalam mengarungi hidup. Kapanpun aku bersedia untuk masuk dalam hidupmu.
Sebuah pengakuan yang terlambat. Andai saja diucapkan dua bulan yang lalu. Akhir yang indah akan menjadi milik dua hati yang saling mencinta. Apa hendak dikata, semuanya sudah terlambat.
Annaura, begitu nama gadis berparas lembut empunya mata teduh itu. Sudah sejak lama Baskara terang-terangan mengharapkan cintanya. Tapi Annaura selalu menolaknya dengan halus. Annaura berasalan lebih senang bersahabat dengan Baskara. Baskara menyimpan cintanya. Tak dibiarkannya siapapun masuk dalam hatinya selain Annaura.
Waktu yang berlalu yang menghantarkan Baskara dan Annaura dari bangku kuliah hingga masuk dalam dunia kerja, tak merubah sedikitpun cinta Baskara pada Annaura. Baskara masih tetap sabar menanti terbukanya pintu hati Annaura. Tapi Annaura masih membantu, membiarkan Baskara tetap menunggu.
Usia Baskara tak lagi muda. Tahun ini usianya akan genap tigapuluh dua tahun. Kedua orangtua Baskara sudah renta. Baskara adalah anak bungsu dari tiga bersaudara – dan satu-satunya yang belum menikah. Orangtua Baskara dan apalagi ibunya tidak menginginkan mati sebelum Baskara menikah. Padahal usianya sudah mencapai tujuhpuluh tahun. Baginya meninggalkan Baskara sebelum Baskara menikah, adalah sebuah ketidaktenangan yang amat sangat. Maka hampir setiap hari, diingatkanyalah Baskara untuk segera menikah.
“Annaura belum mau menerimaku ibu! Bersabarlah! Aku yakin suatu hari nanti Annaura pasti membuka hatinya untukku!” begitulah jawaban Baskara tiap kali sang ibu mengutarakan keinginannya.
“Perempuan bukan hanya Annaura, anakku! Sudah sekian lama kau dibiarkannya menunggu. Lupakan saja dia! Jika memang dia mencintaimu, tak akan dibiarkannya kau begitu lama menunggu!”
“Itulah cinta, ibu. Cinta butuh pengorbanan. Dan aku rela mengorbankan apapun buat Annaura. Aku benar-benar mencintainya, dan sampai kapanpun akan tetap mencintainya!”
“Dan kau juga akan merelakan ibumu mati dalam ketidaktenangan? Ibu tidak akan tenang meninggalkanmu jika kau belum juga menikah. Usiamu sudah sangat cukup untuk menikah,nak. Malah harusnya kau sudah memberi ibumu ini cucu!”
“Sabarlah, bu. Aku yakin tak lama lagi hati Annaura akan terbuka untukku!”
“Kau tidak boleh memaksakan keinginanmu, anakku. Ibu akan mengenalkanmu pada seorang anak dari teman ibu. Ibu ingin kau menikah dengan dia. Dia perempuan yang baik!”
“Tapi aku hanya mencintai Annaura, bu. Tolong mengertilah perasaanku. Aku tidak mau menikah dengan siapapun selain Annaura!”
“Jangan sombong, anakku! Jodohmu bukan kamu yang menentukan! Lagipula cinta itu bisa tumbuh seiring dengan waktu di hati yang terbuka dan mau menerima cinta. Ibu akan segera mengatur pertemuan kalian. Lupakan saja Annaura-mu itu! Sudah terlalu lama kau dibiarkannya menunggu!”
Semuanya begitu cepat. Pertemuan yang sudah diatur, langsung berlanjut dengan lamaran, perencanaan hari pernikahan dan semua hal sudah diatur dengan baik. Tanggal pernikahanpun sudah ditetapkan. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu. Baskara tak bisa berbuat banyak. Demi bakti kepada orangtua dan demi kebahagiaan orangtuanya, Baskara pun tak kuasa menolak ketika dijodohkan dengan Maharani.
Maharani, wajahnya memang tak seayu paras Annaura. Tutur katanya juga tak selembut Annaura, tatapannya pun tak seteduh mata Annaura. Tapi pada akhirnya, di hatinyalah Baskara harus berlabuh. Berlabuh dan akan bersama mengarungi bahtera rumah tangga.
“Apakah kau setuju dengan perjodohan ini? Atau menjalankannya hanya demi orangtuamu?” bertanyalah Maharani kepada Baskara di suatu senja yang basah di teras belakang rumahnya. Waktu itu keluarga Baskara sedang berkunjung ke rumah Maharani yang memang tidak begitu jauh dari rumah keluarga Baskara.
“Sudahlah! Itu tidak perlu dibahas. Yang penting kita yakin dan mantap untuk menjalani apapun yang ada di hadapan kita!” Tak ingin menyakiti perasaan perempuan manapun, Baskara memilih untuk menyimpan kekecewaannya pada perjodohan ini.
“Apakah kau punya seorang kekasih?” Maharani kembali bertanya.
“Tidak. Dan kau?”
“Tidak. Aku menganggap perjodohan ini adalah suatu anugerah yang sangat indah. Siapapun laki-laki pilihan orangtuaku, dia adalah anugerah bagiku. Dan aku yakin dia pasti laki-laki terbaik untukku. Dan aku yakin aku pasti bisa mencintainya.” Ujar Maharani pelan namun pasti dengan senyum dan mata berbinar.
Baskara terkejut dan tidak percaya dengan pengakuan Maharani. Bagi Maharani perjodohan ini adalah anugerah. Baginya perjodohan ini adalah kewajiban yang harus dijalankan.
Selepas pulang dari rumah Maharani, merenunglah Baskara di kamarnya hingga malam hampir menjemput pagi. Wajah Annaura yang begitu dicintainya bermain-main di benaknya. Sebelum hari pertemuannya dengan Maharani dan keluarganya, Baskara masih mencoba mengetuk pintu hati Annaura.
“Apakah kau sudah ada rencana untuk menikah, Naura?” begitu tanya Baskara lewat telepon malam itu. Dia harus mengetuk pintu hari Annaura dengan cara yang lain, bukan lagi dengan kata “Apakah kau sudah mau menerima cintaku, Naura?”
“Mudah-mudahan tahun ini, tahun ini aku kan sudah duapuluh sembilan tahun. Doakan saja ya. Bagaimana dengan mas Bas?”
Jawaban itu, cukuplah bagi Baskara untuk pergi dan tak akan pernah mengetuk pintu hati Annaura lagi.
“Ya..saya selalu mendoakan yang terbaik buat dik Naura. Semoga dia memang benar-benar laki-laki yang terbaik dan benar-benar mencintai kamu.” Harapan Baskara pupus sudah. Annaura hanya akan jadi harapan.
Ucapan Maharani tadi, senyum dan binar matanya membangkitkan suatu harapan di hati Baskara. Cinta bukan hanya Annaura. Mungkin dia bisa belajar mencintai Maharani. Dan satu hal yang lebih penting, dengan menikahi Maharani. Dia telah membahagiakan kedua orangtuanya dan juga kedua orangtua Maharani.
Tapi benarkah bisa dengan semudah itu melupakan cintanya pada Annaura? Tidak! Tidak semudah itu.
Tak disangka, Annaura yang dulu begitu angkuh dan tak tersentuh tiba-tiba saja datang menawarkan cinta. Sebuah pesan singkat yang dikirimnya ke Baskara benar-benar mengguncang hati Baskara.
“Bukankah kau akan menikah tahun ini?” tanya Baskara lewat telpon setelah menerima pesan singkat dari Annaura.
“Ya!”
“Lalu kenapa kau mengatakan….”
“Aku akan menikah denganmu, mas. Pada akhinya aku sadar..ternyata hanya engkaulah satu-satunya laki-laki yang benar-benar mencintaiku.”
Baskara tercekat! Dunianya seperti runtuh seketika. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata Annaura pada akhinya mau menerima cintanya, dan bahkan ingin menikah dengannya. Tapi sayang, di saat yang sangat tidak tepat.
“Sebelum terlambat, baiknya kau batalkan saja pernikahanmu dengan Maharani dan menikahlah dengan Annaura. Aku rasa Maharani pasti bisa mengerti!” seorang sahabat memberikan saran pada Baskara yang tengah galau.
“Tidak semudah itu! Ini menyangkut masalah dua keluarga besar. Apa jadinya kalau tiba-tiba pernikahan itu dibatalkan?”
“Aku mengerti. Pasti akan terjadi kekacauan, tapi itu akan reda dan akan hilang bersama waktu. Sedang kamu? Kamu menikah dengan Maharani dan akan hidup seumur hidupmu dengan dia? Kenapa tidak memilih untuk menikah dengan Annaura yang sangat kamu cintai dan sudah kamu nanti-nantikan selama ini? Kebahagiaan sudah ada di depan mata. Kamu hanya perlu berkorban sedikit lagi. Nanti lama-lama juga keluargamu bisa mengerti. Hidup hanya sebentar, Bas. Jangan kamu sia-siakan kesempatan untuk hidup bersama perempuan yang benar-benar kamu cintai!”
Tiga malam sudah dilaluinya dengan menangis. Menangis dalam penyesalan yang tak berkesudahan. Menangis karena sebuah keputusan yang sudah terlanjur diputuskan.
Andai saja kau datang dua bulan yang lalu, bisiknya kepada angin malam dalam isak.
Pernikahan itu tidak mungkin dibatalkan. Tidak! Bukan karena mencegah kekacauan, bukan karena mencegah kemarahan orangtua Baskara. Bukan karena mencegah permusuhan keluarga.
Baskara tetap memilih Maharani. Senyum dan binar mata Maharani ketika mengatakan “Tidak. Aku menganggap perjodohan ini adalah suatu anugerah yang sangat indah. Siapapun laki-laki pilihan orangtuaku, dia adalah anugerah bagiku. Dan aku yakin dia pasti laki-laki terbaik untukku. Dan aku yakin aku pasti bisa mencintainya.” telah memantapkan hatinya.
Naura,
Maafkan aku.. Semuanya sudah terlambat.
Aku sudah menjadi anugerah bagi hati seorang perempuan lain. Perempuan yang belum aku cintai. Perempuan yang mau mencoba mencintai aku, meski aku bukan pilihan hatinya. Tapi pilihan orangtuanya.
Maafkan aku. Aku yakin kau juga pasti menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku.
Salam
Baskara.
**
Deskripsi tokohnya mana?
Cuma annaura, gadis yang matanya teduh dan parasnya lembut.
Baskara, lelaki yang tahun ini akan berumur 30.
Maharani, tidak seayu dan selembut annaura + tatapan matanya tidak seteduh annaura juga.
cuma itu?
Paragraf terakhir itu apa bu? Surat? Tidak ada kalimat yang merujuk pada paragraf itu. apakah itu surat, atau kalimat yang di ucapkan Baskara di ‘mesin penjawab’ telepon Annaura? Atau SMS dari BAs untuk Annaura?
Saya setuju, tidak setiap tulisan perlu deskripsi yang begitu detil. Jadi jika memang penulis menginginkan untuk suatu alasan.. ya nikmati saja tulisan yang tanpa detil deskripsi tadi.
PISS
agak sulit memang membuat cerpen.karena kita harus brhadapan dgn batasan panjang cerita..sesuatu yg kita anggap pasti pembaca sudah tau kdg malah menimbulkan tanda tanya besar..
Seringnya kita harus bermain d tema..katanya tehnik yg krg bagus dpt disamarkan dgn tema cerita yg menarik atau blm pernah diangkat..masalahnya cr temanya itu yg agak sulit…hehe..
eniwe,thanks for bantaian e..tak tunggu cerpenmu..;-)