……
“Ada kalanya kita harus memilih hal yang sebenarnya tidak kita inginkan. Sakit namun harus dijalani, perih tapi tetap dinikmati. Seperti pil pahit yang harus kau telan untuk menyembuhkan sakitmu. Ya, mungkin persis seperti itu.Seperti pil pahit yang harus kau telan untuk menyembuhkan sakitmu.”
“Dan pil sepahit apapun tidak akan pernah bisa menyembuhkan sakitku.”
“Kamu tidak sakit. Hanya sedang dalam keadaan belum menemukan sesuatu yang mencerahkan gelap di hatimu.”
“Maksud kamu?”
“Lex, dengarkan aku. Untuk kesekian kalinya aku minta, kenapa sih kita nggak bisa biasa aja? Kenapa kita nggak bisa seperti dulu? Kenapa kamu harus berubah seperti ini?”
“Kamu tahu kenapa hujan turun? Kenapa matahari bersinar?”
“Apa hubungannya?”
“Jawabannya sama dengan pertanyaanmu barusan.”
“Lex….”
“Aku tidak bisa bersandiwara, aku hanya bisa menunjukkan apa yang sebenar-benarnya aku rasakan. Jangan paksa aku bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa denganku. Jangan paksa aku untuk tersenyum atau tertawa padahal hatiku menangis. Aku tidak bisa seperti itu. Dan, pergilah! Tolong jangan pernah temui aku lagi. Aku sedang bersama waktu perlahan menghapus kenangan tentang kamu. Tolong pergi, jangan pernah datang lagi. Bagiku kamu hanyalah sebatas kenangan. Kamu memang masih kerap hadir dalam ingatan tapi aku tak pernah berharap kamu hadir dalam hidupku.”
………….
Salju masih turun menghiasi jalanan kota Maastricht,perempuan itu merapatkan jaket wolnya sambil mempercepat langkah. Dia harus segera tiba di stasiun, sebentar lagi kereta yang akan membawanya kembali ke Den Haag akan segera tiba.
“Ada kalanya kita harus memilih hal yang sebenarnya tidak kita inginkan. Sakit namun harus dijalani, perih tapi tetap dinikmati. Seperti pil pahit yang harus kau telan untuk menyembuhkan sakitmu. Ya, mungkin persis seperti itu.Seperti pil pahit yang harus kau telan untuk menyembuhkan sakitmu. Tapi aku harus meminum pil pahit, lalu sakit, Lex” ujar perempuan itu lirih pada langit senja yang mulai beranjak gelap.