Finally, Maastricht Memory

Pernah nggak merasa nggak akan mampu melakukan sesuatu dan akhirnya nyerah aja? Apalagi sesuatu itu adalah sesuatu yang sebenarnya nggak terlalu penting jika dilihat dari tingkat urgency nya. Impian-impian yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Baik dalam kehidupan sebagai anggota keluarga maupun sebagai karyawan di instansi tempat bekerja. Sesuatu yang dianggap tidak begitu penting, lalu dilupakan dan selamanya tenggelam dalam arsip-arsip mimpi yang tak tertuntaskan.

Mengabadikan kisah Maastricht Memory ke dalam sebuah novel adalah tugas yang sudah saya bebankan kepada diri saya sendiri sejak tiga tahun yang lalu. Ini hanya kisah fiksi, tapi kisahnya seperti sebuah peristiwa yang berteriak-teriak minta diabadikan. Tokoh-tokohnya dengan tanpa permisi berkeliaran dan menguasai alam khayal saya. Mereka minta untuk segera diterjemahkan dalam bentuk sebuah kisah. Dalam sebuah buku yang bisa dibaca siapa saja yang ingin membacanya.

Tugas ini lama terbengkalai tanpa ada rencana rinci untuk kapan menyelesaikannya. Saya malah mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah tidak mungkin untuk saya laksanakan. Tugas saya untuk menjaga keseimbangan peran sebagai istri, ibu dan sebagai pekerja kantoran saya rasa sudah cukup untuk menguras energi saya. I do not think that i can finish Maastricht Memory. I can not do that. I have many other more important things to be done.

Di penghujung tahun saya merasa adanya dorongan kuat untuk harus menerbitkan sebuah buku. Waktu itu saya berpikir bahwa menerbitkan novel pasti tidak mungkin, lalu saya berencana menerbitkan kumpulan cerpen. Saya pun mulai ritual menulis cerpen setiap malam sebelum tidur. Cerpen yang saya tulis sudah ada lima belas, beberapa di antaranya adalah cerpen lama yang saya sunting ulang. Sudah cukup kuota untuk menerbitkan satu kumpulan cerpen. Tapi saya tidak puas. Ada suara-suara yang protes dan meminta saya untuk menerbitkan novel, bukan kumpulan cerpen.

Saya pun membuka kembali file Maastricht Memory yang sudah lama terbengkalai dan berencana untuk meneruskannya. Tapi tidak bisa. Jalan ceritanya seperti sebuah gang buntu. Berhenti di satu titik. Saya pun mengganti jalan cerita, mengganti semua nama tokohnya dan mulai menulis. Untuk beberapa data, untungnya saya sudah melakukan beberapa survey. Sehingga proses penulisan Maastricht Memory bisa berjalan lancar.

Setting Maastricht Memory ada di beberapa kota. Yogyakarta, Singapura, Amsterdam, New York dan Maastricht. Sebelum menyelesaikan  Maastricht Memory, saya merasa perlu untuk mengunjungi salah satu kota tersebut. Dan kebetulan dua sahabat saya yang sudah enam tahun tak bertemu mengajak reuni di Singapura. Saya pun berangkat. Menuntaskan Maastricht Memory sambil reuni dengan sahabat saya. Mengunjungi tempat dimana tokoh dalam Maastricht Memory bertemu dan berpisah.

Kisah Maastricht Memory dimulai di Singapura. Saya sebenarnya tidak punya alasan khusus untuk memilih kota ini. Saya memilih Singapura karena memang kota ini yang paling cocok dengan alur dan kasus dalam cerita Maastricht Memory. Dan kalian akan berkenalan dengan Keyra, Edga, Ben, Lea, Nadya dan Jane. Mereka adalah tokoh-tokoh yang akan kalian temui di Maastricht Memory

Maastricht Memory saya kerjakan hanya dalam waktu dua minggu. Setiap malam setelah anak balita saya tidur saya mulai membuka laptop dan meneruskan menulis. Weekend yang biasanya saya habiskan full time dengan anak dan suami, harus saya relakan habis termakan oleh Maastricht Memory. Dan saya memang sengaja memilih untuk menerbitkan secara self published dan memilih www.nulisbuku.com sebagai partner. Tujuan utama saya adalah menjadikan Maastricht Memory menjadi novel. Melihat Maastricht Memory menjadi novel saja sudah sangat membahagiakan.

Finally, Maastricht Memory! Rasanya seperti dahaga yang tertuntaskan. Saya tidak menyangka kalau saya bisa menyelesaikan proyek ini. Dan dari Maastricht Memory saya belajar bahwa, terkadang kita hanya perlu sedikit memaksa diri kita sendiri untuk melakukan sesuatu yang kita pikir tidak mungkin bisa kita lakukan. Dan seringkali kita meremehkan kemampuan kita sendiri. Padahal sebenarnya kita bisa melakukan lebih baik lagi dan bahkan yang terbaik.

Advertisement

One comment

  1. wua, penulis ternyata, saya mah masih ngumpulin cerpen yang terputus-putus di laptop en mau coba dikirim-kirim biar nggak nyesekin data aja, hehe.
    So, selamat ya Mak 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s