We love you, mom!

Adik bungsu saya-Kindy, masih berusia 8 tahun ketika Tuhan memanggil ibu saya kembali kepangkuanNya. Ibu saya hijrah ke surga di usianya yang keempatpuluh sekian. Masih terbilang muda, dan kalau saya boleh meminta saya pasti akan meminta Tuhan untuk mengundurkan jadwal kepindahan Ibu saya ke surga. Mungkin lebih baik kalau tigapuluh atau tigapuluh sembilan tahun lagi kan? Saat kami sudah bisa melengkapi kebahagiaan ibu saya dengan kehadiran cucu-cucunya. Tapi sudahlah jangan dibahas, di surga sana ibu pasti lebih bahagia.

Jadi salah satu kekhawatiran terbesar kami setelah kepergian ibu adalah, bagaimana perasaan dan hari-hari Kindy setelahnya? Usia delapan tahun masihlah sangat kecil dan pasti masih sangat membutuhkan kasih sayang ibu. Kami khawatir Kindy akan tumbuh jadi anak yang pendiam, murung dan (mungkin) gampang menangis. Apalagi setelah kepergian ibu, Kindy juga harus menghadapi lingkungan baru karena kemudian kami pindah rumah. Kindy harus berteman dengan orang-orang baru yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Apalagi anak-anak di lingkungan baru sepertinya…umm…bagaimana saya mengungkapkannya….kasar mungkin ya…tapi…bukan, bukan kasar, tapi cenderung bicara semaunya dan tidak memikirkan perasaan orang lain.

Seperti sore itu.

Kindy sedang bermain di teras rumah kami dengan beberapa teman barunya. Dari dalam rumah kami bisa dengan jelas mendengar pembicaraan mereka. Dan seperti inilah mulut lantam salah seorang anak itu memulai pembicaraan

“Kau anak yang baru pindah itu, kan? Yang Mamaknya udah meninggal itu? Berarti kau udah nggak punya mamak ya?” suara anak itu tidak hanya jelas terdengar, tapi juga menusuk hati saya. Memangnya kenapa kalau ibu saya sudah meninggal?

Saya sudah hampir keluar rumah, menarik Kindy masuk dan mengusir anak bermulut tajam itu. Saya juga diam-diam khawatir, mungkin sebentar lagi Kindy akan masuk ke rumah sambil menangis.

Tapi..

“Iya mamak kami udah meninggal, sekarang mamak udah di surga dekat sama Tuhan. Mamakmu juga udah meninggal?” Saya tidak menyangka jawaban seperti itu yang keluar dari mulut Kindy, adik saya –anak kecil yang belum genap satu bulan kehilangan ibunya.

“Nggak, mamakku masih hidup!” suara yang tadinya lantang dan tegas itu mulai bergetar.

“Tapi nanti mamakmu pasti meninggal,” suara Kindy sangat tenang.

“Nggak! Kata siapa?” suara itu berubah seperti orang ketakutan

“Karena semua orang hidup pasti meninggal!”

“Nggak! Nggak!!” anak itu menangis dan pergi.

Kekhawatiran kami ternyata berlebihan. Kenyataannya Kindy kemudian tumbuh jadi anak yang periang, cerdas dan berpikiran sangat dewasa walau sedikit manja. Kadang saya juga tak habis pikir, bagaimana anak sekecil itu bisa berpikiran sangat dewasa seperti itu.

Tuhan memang baik, dia memberikan kekuatan lebih pada anak-anak yang (harus) ditinggalkan ibunya.

Happy mother days for all moms in the world and especially for all moms in heaven.

We love you, mom!

Advertisement

7 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s