did i hurt you?

Did i hurt you?”, dia melontarkan pertanyaan itu lewat sebuah sapa tanpa tatap muka. Pada lewat tengah malam yang sunyi. Kami sudah bercakap sedari tadi, tentang banyak hal yang tidak begitu penting. Dan entah kenapa tiba-tiba dia kembali mempertanyakan hal ini. “Did i hurt you?” Kenapa masih saja merasa menyakiti?
No, you did not,” tentu aku menjawabnya seperti itu.
Are you happy?” tanyanya kemudian.
“Bahagia itu bukan tujuan hidup, happy or not it’s not a problem.” jawabku
“Aku merasa bertanggungjawab atas kebahagiaanmu,” lagi dia berkata seperti itu.
Why?”
I don’t know.”
OK, i am happy,” kuberi dia jawaban tercepat
Do you love her?” dan aku sangat benci pertanyaan ini.
“Bagaimana kalau kita mengakhiri pembicaraan ini? Aku mengantuk dan kamu juga besok harus bangun pagi kan?” aku selalu tak bisa menjawab pertanyaan ini. Dan kemudian memilih mengakhiri pembicaraan.

Love, cinta? Mengapa dia tidak juga sadar kalau hingga saat ini perempuan yang kucintai hanyalah dia. Meski tak mungkin memilikinya tapi cinta adalah sebuah rasa yang tidak semudah itu bisa dihalau pergi dari sini, dari sini. Ya,dari sini. Dari denyut jantungku ini.

Aku menuliskan sebuah surat cinta untuknya, lebih dari seribu hari yang lalu. Kuletakkan di depan pintu rumahnya agar ketika dia keluar, dia akan menjumpai surat cintaku lalu kemudian membacanya. Tapi angin menerbangkannya, entah kemana.

-bersambung-

Advertisement

18 comments

  1. masih calon aja udah keren gini, apalagi kalo dah jadi,, huaaaaaaaaa… keren pwoooll.. 🙂
    lek dis mbak.. moga cepet jadi novelnya (trus dibikin kontes lagi,, huuuuuuuuu.. maunya) hehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s