…dan kemarahan adalah salah satu bentuk kegagalan [@yessigreena,2013]
Entahlah, saya selalu merasa gagal setelah selesai melampiaskan kemarahan kepada orang yang (saya kira) pantas mendapatkannya. Biasanya hanya beberapa menit setelah kejadian marah, saya pasti menyesal. Seharusnya saya bisa menahan diri seharusnya saya bisa meredam emosi. Tidak sepantasnya saya marah seperti tadi, harusnya saya…
Berbagai kata seharusnya langsung mengerubungi hati dan pikiran saya.
Marah bagi saya adalah ketika saya sudah bicara dengan nada tinggi dan mungkin saja membentak. Ketika saya sudah tidak bisa lagi mengendalikan luapan emosi yang tiba-tiba seperti ember penuh air yang harus meluap.
Seperti kemarin, saya yang tadinya seperti air tenang perlahan namun pasti berubah menjadi genangan bensin. Dan lawan bicara saya adalah lidah api yang menjilat-jilat ke arah saya. Dan tak bisa dihindari api besar pun menyala.
Saya marah, saya berbicara dengan nada tinggi dan ya..saya membentak si lidah api.
Kesalahan bisa diperbaiki dan dimaafkan. Tapi nada suara yang tinggi dan cenderung ‘nyolot’ kemungkinan besar pasti menyulut emosi lawan bicara.
Mengakui kesalahan, bila perlu meminta maaf dan kemudian berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama adalah hal yang seharusnya dilakukan. Dan menurut saya, perilaku yang mencoba menutupi kesalahan dengan mencari berbagai alasan, menyalahkan orang lain atau bahkan menyalahkan lawan bicara adalah sikap yang sangat tidak dewasa.
Dan bukankah kedewasaan adalah salah satu hal penting dalam dunia kerja?
Dan saya seharusnya bisa menahan diri untuk tidak marah. Ah ya..maapkan saya. Tapi anda harus berubah lebih baik, ya
Saya benci orang yang mudah marah… bagiku itu seperti halnya orang yang gagal menahan emosinya.. jadi benar statemenmu, marah adalah bukti kegagalan 🙂
setuju…