Di Sabtu Pagi yang Cerah

Jadi kan pas ke Jakarta kemarin daku menyempatkan bertemu dengan teman daku -yang dengannya kubebas menumpahkan segala sumpah serapah di kala hati sedang gundah gulana. Tadinya dia janji mau nginep semalem di hotel daku biar bisa curhat curhitan sampe mampus. Tapi karena ada halangan ya terpaksalah rencana curhat sampe mampus itu dibatalkan. Tapi untunglah di Sabtu pagi yang cerah tidak ada halangan sehingga janji sarapan bareng di hotel terlaksana sebagaimana direncanakan.

Daku bangun kesiangan sebenarnya karena di malam hari tak bisa terlelap dan baru bisa tidur jam tiga-an kali ya. Bangun-bangun udah jam setengah delapan aja. Daku langsung mandi dan selesai mandi baru inget nyalain handphone. Tentu saja udah ada bbm yang menyatakan “gue otw” dari teman daku.

Janjinya sih jam delapan kita ketemuan di resto hotel. Daku turun udah jam delapan lewat, teman daku belum nongol. Dia baru nongol setengah jam kemudian. Dan perjumpaan dibuka dengan jeritan histeris dia yang nggak tau malu itu yang meneriakkan “kok lo sekarang gendut sih?”. Oh my God padahal daku nggak ndut-ndut banget kan. Tapi dibandingkan dengan postur daku waktu masih belia yang emang cihuy banget itu ya wajar sih dia histeris gitu. (padahal ketemuan terakhir juga baru tahun kemarin).

Abis sarapan kita naik ke kamar lagi. Tadinya mau langsung capcus ke Poinsquare cari oleh-oleh buat Java. Udah nggak sempat kemana-mana lagi, jadi terpaksa cari tempat belanja terdekat aja. Tapi acara curhat menyurhat tidak dapat dihindari, sampai akhirnya kita sadar udah jam sepuluh aja. Dakupun beberes dan langsung check-out sebelum capcus ke Poinsqure.

Dalam sesi ini teman daku lebih banyak bicara daripada mendengar, artinya dianya yang banyak curhat dan daku yang mendengar. Curhatannya kebanyakan tentang pekerjaan dan karir, tentang inilah tentang itulah dan sebagainya dan sebagainya. Tapi di akhir acara curhat, teman daku menanyakan satu hal yang agak sulit dijawab dengan sebaris kalimat. She asked me “Nyet, gimana sih rasanya punya suami dan anak? Apa berkeluarga itu indah-indah aja kaya di film-film drama romantis?” Secara si teman daku ini emang belum menikah dan belum ada calon serius, jadi wajar sekali dia menanyakan hal ini.

Daku nggak bisa jawab dengan kalimat yang tertata rapi. Dan cuma bilang ” Rasanya macem-macem, nyet. Setiap hal kan pasti punya dua sisi yang berbeda. Tinggal gimana kitanya aja ngadepinnya.”

Trus dia bilang, “Lo nggak jawab pertanyaan gue. Gue kan juga pengen tau nikah itu gimana rasanya.”

“Nggak usah dipikirin, nikmati aja dulu masa-masa lajang lo. Dan inget, menikah dengan orang yang tepat jauh lebih baik daripada menikah pada waktu yang tepat.”

“Maksud lo?”

“Nggak usah buru-buru. Tunggu aja orang yang tepat.”

“Tapi gue kan udah tua, nyet!”

“Nyadar ya kalo lo udah tua?”

“Ah setan lo!!!”

Pembicaraan tentang pernikahan pun berganti topik dengan hal-hal sepele yang sebentar-sebentar bikin kita ngakak kaya orang gila 😀

Eh tapi serius lho, orang yang tepat lebih penting daripada waktu yang tepat.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s