Bagi ibu-ibu muda yang anaknya sudah sekolah (lebih dari atau hampir setahun), pertanyaan ‘anaknya sudah bisa apa?’ bisa menyebabkan tiga reaksi yang berbeda.
Golongan pertama mungkin akan dengan bangga mempersembahkan..eh menceritakan tentang kemampuan anaknya yang emang patut dibanggakan sih. Udah bisa menyanyikan lagu “Indonesia Raya” lengkap satu lagu, sudah bisa mewarnai dengan sempurnah, bisa membaca dan bisa menulis. Apalagi kalau sudah bisa cas cis cus bahasa Inggris. Oh, baby…mommy is so proud of you..
Golongan kedua mungkin sedikit tidak suka dengan pertanyaan ‘anaknya sudah bisa apa?” tersebut. Karena daftar hal-hal yang disebutkan oleh golongan pertama, tidak ditemukan pada anak mereka. Yang ada hanyalah daftar anak-anak yang pernah menangis karena ‘dinakali’ anaknya, atau cerita panjangnya kesabaran guru-guru mereka karena si anak selalu saja ‘kabur’ dari kelas dan memilih bermain di halaman di saat teman-temannya anteng di dalam kelas. Belum bisa mewarnai dengan benar apalagi menulis dan membaca. Belum bisa ini belum bisa itu.
Golongan ketiga mungkin sama sekali tidak beraksi atas pertanyaan tersebut. Menganggap itu adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena memang tidak berdampak apa-apa.
Lalu saya masuk golongan yang mana ya?
Dalam setiap pertemuan yang melibatkan ibu-ibu muda yang anaknya berusia sekitar 3-5 tahun, saya sering mencium adanya kecenderungan terjadinya percakapan yang berujung pada perbandingan ‘anak gue udah bisa begini, masa anak lo belum?’, dan dilanjutkan dengan “lo harusnya begini, nanti begini lho..bla…bla…bla…”. Dalam keadaan seperti ini, saya biasanya memilih untuk diam. Membiarkan mereka ngomong apa aja yang mereka inginkan. Karena anak saya masih berusia 4 tahun, menurut saya tidak bisa membaca, menulis dan mewarnai dengan benar adalah hal yang wajar.
“Anakku tiap hari aku ajarin baca. Dan sekarang umurnya baru empat tahun lebih dikit, dia udah bisa baca lho. Tadinya sih nggak mau belajar, maunya main terus. Tapi karena dipaksa akhirnya bisa baca!” seorang ibu bertutur dengan bangganya tentang anak balita nya yang sudah bisa membaca.
Mungkin orangtua bangga melihat anaknya bisa melakukan hal-hal yang belum bisa dilakukan oleh teman seusianya, kerja kerasnya berhasil mendidik anak yang selalu lebih dari teman seusia. Dan saya juga tidak akan berkomentar apapun tentang ini. Tapi sebagai ibu, saya tidak akan memaksa anak balita saya untuk belajar membaca. Jika ada ibu yang melakukan itu pada anaknya, ya terserah saja. Tapi mungkin penting untuk disadari bahwa dalam beberapa kasus, siapa yang duluan bisa itu tidak menjadi hal penting. Pada akhirnya anak-anak akan bisa membaca. Dan di masa depannya kelak, mungkin tidak akan ada yang akan mempertanyakan, usia berapa anda bisa membaca?
Sayangnya banyak ibu-ibu yang kemudian terpacu dan tidak mau kalah, seolah-olah anak yang tidak bisa membaca adalah sebuah aib. Masa udah setahun sekolah nggak bisa apa-apa? Orangtuanya pemalas ya? Pasti anaknya nggak pernah diajari. Pasti anaknya main mulu. Lalu beramai-ramai memaksakan anak untuk bisa membaca dan menulis di usia dini. Membanding-bandingkan anak dengan teman seusianya. Kalau dia bisa, kamu juga harus bisa! Tanpa disadari, anak menjadi ajang kompetisi.
Terserah sih ya, mau mendidik anak seperti apa. Itu hak penuh orangtua masing-masing. Tapi cobalah mengerti perasaan mereka. Karena mereka bukan ajang kompetisi.
ih setuju banget. aku jenis ortu yg ga,terlalu suka anaknya dah bs apa. males aja .