Guru adalah sosok penting dalam hidup setiap orang. Apalah jadinya kita tanpa guru. Mereka adalah orangtua kedua kita, orang yang telah berjasa mendidik dan membimbing kita. Kita yang tidak tahu apa-apa, karena jasa para guru kita akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menyongsong masa depan. Berbekal ilmu dan ketrampilan yang kita dapatkan dari sang guru.
Adalah seorang perempuan paruh baya berkulit hitam manis dengan rambut panjang yang selalu ditata rapi menyerupai sanggul kecil. Membingkai wajah keibuan yang selalu berhias senyum dan tatapan mata yang lembut dan menyejukkan. Penampilannya sangat sederhana, dengan tutur kata yang lembut namun lantang. Beliau adalah guruku, sosok menyenangkan yang membuatku jatuh cinta dengan pelajaran Bahasa Inggris. Dengannya, melewati tiga kali empatpuluh menit dalam ruangan kelas seadanya dan kursi-kursi tua yang sudah selayaknya ‘dipensiunkan’ terasa seperti di tempat yang paling menyenangkan. Gedung sekolah kami waktu itu memang sangat jauh dari kesan megah. Hanya bangunan yang sudah tua dan perlengkapannya yang tak kalah tua. Tapi untuk sebuah SMP Negeri di daerah, buat kami itu sudah lebih dari cukup.
Wanita sederhana itu memang sangat pandai memikat hati murid-muridnya, membagikan ilmu yang dimilikinya seperti berbagi kebahagiaan. Sehingga tak ada sedikitpun beban bagi murid-muridnya. Semua orang mengagumi dan menghormatinya. Dan tentu saja menyayanginya. Dan atas permintaannya, kami memanggilnya “Ma’am”.
Pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran baru bagi saya waktu itu. Pada masa itu, bahasa Inggris baru diberikan pada murid kelas satu SMP. Kurikulum pendidikan SD tidak mengharuskan SD Negeri untuk memberikan pelajaran Bahasa Inggris. Ada sedikit kekhawatiran apakah nanti saya bisa mengikuti pelajaran bahasa asing itu. Apalagi dengar-dengar dari beberapa orang teman yang sudah SMP katanya pelajaran bahasa Inggris itu susah dan menakutkan. Apalagi kalau dapat guru yang galak. Tapi saya simpan kekhawatiran saya.
Dan tibalah hari pertama pelajaran bahasa Inggris. Ibu Lady Situmorang – yang kemudian kami panggil Ma’am memasuki ruangan kelas dengan wajah lembut dan senyumnya yang menyejukkan. Kebetulan waktu itu Ma’am juga menjadi wali kelas saya. Hari pertama yang menyenangkan. Ma’am mengajar dengan cara yang tidak membosankan. Kami diajak bernyanyi dalam bahasa Inggris, menyebutkan setiap benda di kelas dengan bahasa Inggris. “this a book, this a chair, this is a window and this is a blackboard” , begitu lagu yang berulang-ulang kami nyanyikan waktu itu. Ma’am akan menunjuk suatu benda, dan kami harus menyanyikannya dengan bahasa Inggris. Bagi remaja kelas satu SMP yang baru saja mengenal bahasa Inggris. Tentu saja hal itu sangat menyenangkan.
Buat saya Ma’am Lady menjadi guru yang sangat istimewa, karena saya jadi sangat tertarik dengan bahasa Inggris. Ma’am Lady mengajar dengan penuh cinta, sangat sabar dan tak pernah marah. Karena kesabaranlah kami semakin hormat padanya. Di setiap akhir pelajaran Ma’am Lady selalu memberikan kami semacam tes. Bagi siswa yang jawabannya benar semua Ma’am akan menuliskan “Thank’s a lot” dan bagi yang masih ada yang salah Ma’am memberikan tulisan “Thanks”. Bahagia sekali rasanya jika melihat “Thank’s a lot” di kertas jawaban saya. Dan itu memicu saya untuk belajar lebih giat lagi.
Meskipun setelah naik kelas dua dan kelas tiga saya tidak lagi diajar oleh Ma’am Lady, saya tetap menyukai pelajaran Bahasa Inggris. Ma’am Lady telah melekatkan cinta saya terhadap pelajaran –yang bagi sebagian orang sangat susah ini dengan erat di hati saya. Ma’am Lady adalah pahlawan bagi saya. Beliau yang telah berjasa mengenalkan dan membuat saya jatuh cinta dengan pelajaran Bahasa Inggris.
Seandainya semua guru di tanah air tercinta ini seperti Ma’am Lady, pasti tidak ada siswa yang malas belajar dan atau menganggap pelajaran sebagai beban yang memberatkan. Para siswa pasti akan bersemangat dan mencintai guru dan pelajaran mereka. Dan hal ini tentu saja secara tidak langsung akan meningkatkan kwalitas sumber daya manusia negeri kita.
Guru adalah asset utama dalam dunia pendidikan. Apalah artinya gedung sekolah yang megah dan peralatan penunjang yang sangat lengkap bila tanpa guru. Karena itu sudah seharusnya pemerintah perduli dengan kwalitas guru dan lebih memperhatikan kesejahteraan mereka. Khususnya untuk guru-guru yang ada di daerah tertinggal atau di daerah pedalaman. Guru tidak hanya pintar dan kaya ilmu, tapi juga harus memiliki kepribadian yang penuh cinta kasih, dedikasi, sabar namun tetap berwibawa. Menjadi seorang guru bukan hanya sebagai profesi, tapi juga mengemban tugas mulia untuk mendidik tunas-tunas bangsa yang nantinya akan meneruskan kelangsungan tanah air tercinta ini. Kepada mereka dititipkan anak-anak bangsa untuk dididik dan dibekali ilmu dan ketrampilan. Yang tadinya tidak tahu apa-apa, menjadi tahu. Yang tadinya “buta” menjadi bisa melihat segalanya. Maka tak berlebihan jika kita memberikan gelar “Pahlawan Tanpa Jasa” pada guru-guru di negeri kita ini.
Kabar dari seorang kawan sore tadi betul-betul mengejutkan saya. Ma’am Lady telah wafat beberapa tahun yang lalu. Tak ada lagi perempuan sederhana dengan senyum tulusnya yang menyejukkan. Betapa saya ingin mengucapkan terimakasih pada beliau, tapi ternyata saya terlambat. Jarak yang sangat jauh dan kesibukan yang membelenggu terkadang membuat kita lupa dan terlena dengan waktu. Sebelum meninggal Ma’am Lady masih menjadi guru di SMP Negeri 1 Sidikalang –sebuah kota kecil yang berjarak tempuh 4 jam dari Medan (ibukota Sumatera Utara), dan saya jauh di perantauan. Di sebuah kota kecil di lereng gunung Merbabu.
Tenanglah dalam keabadianmu, Ma’am. Semua jasa dan baktimu tak akan pernah terkikis oleh masa. Kau adalah pahlawan dalam hidupku.
mantap bos artikelnya bagus bagus, senang baca baca di sini.Salam. 🙂
sip banget artikelnya, salam kenal ya gan bang jay ngeblog
sidikalang? tempat kopi mangstaff itu? woww!
Iya, sosok ibu LLF ini memang sangat membekas di hati sampai saat ini. Semangat nya yg luar biasa menanamkan pelajaran bahasa inggris di zamannya yg begitu aneh bagi anak-anak kampung spt kami, sering jadi bahan olok-olokan “let’s check together” mjd julukan bagi ibu ini ” si ibu leccet tugeder”. Tp pelajaran bahasa inggris mjd sangat menyenangkan. In memoriam ibu LSG.
miss u Ma’am Lady Situmorang
begitu mengharukan.. guru seperti itu memang patut diapresiasi & pantas disebut pahlawan.. turut berduka cita 😦