Saya adalah pembaca yang sangat sombong (lebih tepatnya pemalas). Buku-buku -yang di sepuluh halaman pertamanya tidak membuat saya penasaran, langsung saya tutup dan tidak saya teruskan membacanya.
Bersama seorang teman, kami memesan Gelombang yang bertanda tangan Dee pada sebuah toko online.
Di hari yang sama saat menerimanya saya langsung melahap novel bersampul hitam tersebut. Lancar djaya sampai halaman 40, sebelum akhirnya Java – my 33 months baby terbangun dan berkata “Ma, tolong lampunya dimatiin!”. Saya pun tak berdaya hanya bisa mengatakan, “Baik, paduka!” lalu tidak meneruskan membaca dan bolak balik di kasur kaya tempe di penggorengan sampai jam tiga pagi.
Saya kemudian melanjutkan membaca hari ini, mencuri-curi waktu di saat Java tidur siang atau sedang bermain ke tetangga. Dan saya menyelesaikannya tepat pukul tujuh waktu indonesia barat.
Lalu?
Menurut saya, makin kesini tulisan Dee semakin ringan. Bukan berarti tidak berbobot, tapi bisa dibilang cenderung nge-pop. Tapi tetap ciri khasnya yang sulit saya jelaskan masih jelas terasa. To the point, saya menyukai Gelombang. Bukan karena saya orang Batak (hahaha…) bukan juga karena mantan calon pacar di masa lalu yang bermarga Sagala 😛
Saya hanya tidak suka endingnya yang tidak menuntaskan rasa penasaran saya, dan kenyataan bahwa saya harus menunggu “Intelegensi Embun Pagi” entah berapa lama. Kalau ketemu dengan Dee saya akan bilang, tolong lahirkan “Intelegensi Embun Pagi” tahun depan! 😀
Gak sabar nih pengen baca gelombang. Tp masih mesti nunggu desember. Hehe
Yakan, ngga ‘seberat’ partikel?
Wah keren dpt tanda tangannya Dee!
Btw saya lagi bagi-bagi buku, salah satunya Gelombang. Barangkali ada yang mau, silakan banget