…..
“Tapi..,” aku tak bisa meneruskan kata-kata yang sudah berada di ujung lidah. Tiba-tiba ada sebuah perasaan yang menyerangku, entah apa namanya. Sebuah rasa yang menimbulkan semacam perasaan kosong dan hampa, membuat lidahku kelu dan tak ingin berucap.
Kau dan Ben. Pasangan paling serasi sejagat raya. Sudah berpisah secara resmi sejak setahun yang lalu? Apakah kau sedang bercanda? Tapi rasanya pemilik wajah seserius ini tak mungkin punya waktu untuk bercanda. Aku masih belum percaya, ya aku butuh klarifikasi ulang. Kau dan Ben adalah pasangan paling sempurna. Ben sangat mencintaimu, kau juga sangat mencintai laki-laki itu kan?
Oke..oke. Berpisah atau tidak itu adalah urusan kalian. Bagiku ada hal yang lebih penting dari alasan kalian berpisah. I can not find the reason why you did not tell me about this very big issue. Selama ini aku pikir kau bahagia-bahagia saja, aku pikir kau sudah menikmati fase happy ever after bersama laki-laki yang sangat kau cintai itu.
Aku merasa sangat -entah apa namanya waktu tahu bahwa kalian sudah berpisah. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang perpisahan itu. Kenapa kau tidak pernah cerita? Kenapa aku baru tahu sekarang? Aku siapa sih buat kamu? Hanya sahabat lama yang sudah tinggal kenangan dan mungkin tidak akan pernah lagi berjumpa?
“Ed…is there something wrong?” kau seperti bisa membaca pikiranku.
“Yes off course!” ujarku setengah berteriak.
“What’s the problem?” tanyamu dengan muka tanpa dosa.
“You! Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang perpisahan kamu sama Ben? Sahabat macam apa yang baru tentang sahabatnya setahun kemudian? Aku salah apa sih sama kamu? Kok kayanya menjauh dan dingin gitu?” oke, memang lebih baik terus terang saja sama sahabat yang sudah jauh berubah ini.
“You never asked me! Aku hanya bercerita pada orang yang bertanya. Dan kamu, nggak pernah sekalipun bertanya tentang aku dan Ben. Sorry, Ed. Please understand. It’s not easy for me.”
“Okelah. Tapi kenapa harus berpisah?” aku melihat mendung di matamu. Dan tak pantas rasanya jika aku masih terus membahas kenapa aku baru tahu sekarang. Ada yang lebih penting dari itu.
Kau diam sejenak, lalu, “We have no reason. Kami hanya sepakat bahwa hidup kami masing-masing akan jauh lebih baik jika tidak hidup bersama lagi.”
“Gila! You are both insane,” ujarku sambil tertawa.
“It’s not funny,” ujarmu protes.
“Ya. Dan kamu sedang berusaha menyembunyikan masalah yang sebenarnya. But it’s okay! Aku nggak akan maksa kamu untuk bercerita.”
“Ed….can we talk about another topic, please? Aku males membahas hal itu.”
“Oke oke…jadi gimana sekarang udah dapat pengganti Ben?”
“Entahlah…” ujarmu pelan.
“Kok entah?”
“Ga tau deh, Ed. Aku belum berpikir tentang itu. Rasanya space di hati dan kepalaku udah nggak cukup untuk sebuah sosok atau hubungan baru. I am enjoying my life so far. Rasanya udah lebih nyaman kaya gini.”
“Kamu masih belum bisa ngelupain Ben? Masih cinta sama dia?”
“No. It’s not about Ben anymore. There is no more Ben. Dan cinta? Kamu tahu nggak, belakangan ini aku baru tahu bahwa cinta itu hanyalah sekedar rasa. Dan rasa hanyalah sekedar bagian dari warna-warni yang menghiasi hidup. Hal terpenting adalah hidup itu sendiri. Rasa hanyalah sesuatu yang menghiasi, perlu tapi tidak begitu penting. Sama seperti seorang penjual es krim menawarkan dagangannya padamu. Dia akan bertanya rasa apa yang kau mau? Mungkin kamu memilih rasa coklat atau strawberry. Tapi banyak juga yang memilih original alias tanpa rasa. Saat ini, aku memilih es krim original, tanpa rasa.”
“Are you okay?” aku merasa ada yang salah sehubungan dengan teori tentang es krim mu itu.
“Kampret lo, Ed! I am serious!” ujarmu sambil tertawa keras.
Dan aku yakin, kau pasti sedang terluka dan (mungkin) kesepian.
bersambung lagi ya š
CINTA itu… Ciuman Itu Nakal Tapi Asik… *ga nyambung* hehehe…