Dewasa di Media Sosial

Pernah risi ga sih liat postingan seseorang di social media? Postingan tentang berbagai kegiatan dan perasaan yang dialaminya. Pernah dong ya, liat postingan photo tiket pesawat dan paspor dan di sebelahnya ada cangkir kopi yang lambangnya emak-emak rambutnya terurai? Atau poto kotak perhiasan lengkap dengan perhiasannya (ya iyalah..masa kotaknya doang) dan di sebelahnya ada sertifikat perhiasan tersebut dengan informasi tentang harganya. Atau..ya banyak ya contohnya ya. Ya kira-kira yang setipe sama yang tadi saya sebutin lah.

Apa sih yang terlintas di pikiran kalian waktu melihat postingan seperti itu? Risi nggak sih? Kalau saya, sejujurnya saya biasa aja melihat postingan setipe itu. Saya juga percaya bahwa di balik photo yang diupload tersebut ada hati yang sangat bahagia sehingga dia ingin mengabadikan kebahagiaan itu di social media. Saya lebih risi melihat postingan yang ngeshare berita-berita atau artikel-artikel berbau provokasi yang belum bisa dijamin kebenarannya. Bener, sumpah!

Memang kesannya mungkin pamer ya. Tapi pencapaian atas sesuatu mungkin memang wajar diabadikan di social media. Mungkin juga orang tersebut adalah tipe orang yang sangat terbuka sehingga apapun yang dialaminya harus diketahui oleh orang lain. Atau mungkin juga dia ingin memotivasi orang lain supaya bisa beli kalung berlian seberat limabelas kilo seperti yang dia punya. Nobody knows, ya…cuma dia dan Tuhan yang tahu. Dan saya pribadi sebenarnya tidak terlalu perduli dengan maksud dan tujuan tersebut.

Kemungkinan yang lain adalah, mungkin itu adalah hal yang sangat istimewa. Ya contohnya seperti saya ini, waktu pertama kalinya business trip ke Beijing, sempat-sempatnya bikin postingan berseri di blog saya inih tentang perjalanan tersebut. Beda banget dengan rekan saya yang dalam seminggu aja bisa business trip dua hari di Melbourne, sehari di Manila dan sehari lagi di Kuala Lumpur. Manalah sempat dia bikin postingan tentang perjalanan tersebut, bikin Visit Report aja udah malas kali.

Atau saya yang di hampir semua social media saya menulis “pengen ke Maastricht” – seolah-olah social media punya kekuatan untuk menyampaikan kepada semesta tentang impian saya. Sementara rekan kerja saya yang dapat kesempatan pindah kerja ke Belanda sana bisa dengan mudahnya melipir sebentar ke sana.

Ini kenapa gue jadi curhat sik? šŸ˜›

Tanpa kita sadari ya, social media sudah merampas isi pikiran kita. Kalau gue sih nggak ya! *ditabok*. Eh tapi bener lho, saya perhatiin banyak lho yang udah begitu mudahnya menuangkan isi pikirannya ke dalam bentuk tulisan di social media. Kalau isi pikiran yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa sih oke-oke aja ya. Masalahnya isi pikiran tersebut seringnya tentang sesuatu yang menyakitkan bagi orang lain. Elo terserah ya, mau berpikir tentang apa saja dan bagaimana saja, tapi begitu isi pikiran itu sudah dinyatakan lewat tulisan akan banyak pihak-pihak yang terstimulasi dengan isi pikiran tersebut.

Tapi kita sudah seperti dihipnotis oleh si social media untuk menuangkan semua isi pikiran kita. Dikit-dikit tulis di Facebook, dikit-dikit curhat di Twitter, dikit-dikit posting di Path. Eh kalau gue sih nggak ya! *ditaboklagi* šŸ˜› .

Mungkin itulah alasan kenapa social media diperbolehkan untuk usia tertentu yang sudah dianggap dewasa dan bisa mengendalikan diri dengan baik. Masalahnya, dewasa atau tidak, nggak bisa ditentukan dari usia kan? Iya nggak sih?

Advertisement

One comment

  1. Setuju saya.
    Kadang yang kita anggep penting banget buat dibagi di sosmed rasanya nggak penting banget buat yang laen.

    Rasa di ‘like’ dan di ‘comment’ yang saya rasa bikin kita jadi pingin apdet terus. Karena disitu dapet apresiasi, walau kadang cemooh juga diam2. šŸ™‚

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s