Key…ini jadi semacam lanjutan serial dari postingan saya sebelumnya. Yang mana trigger dari pernyataan permintaan jalan-jalan ke Jepang adalah karena si boy liat gambar di Instagram yang ada tulisan “Japan” nya. Jadi root cause nya bukan karena liat Instagram ya, itu hanya trigger. Tapi suspect nya adalah Naruto dan Ultraman. Saya rasa kedua orang ini yang membuatnya ingin merayakan ulang tahun di Jepang. (Ini apa sih, Yes ngomongin root cause segala. Hahahha…)
Trus ada yang nanyak. Bukan tentang jalan-jalan ke Jepang nya. Oh itu mah udah jelas nggak akan terealisasi di ultah si boy akhir bulan ini. Kecuali produser nya Naruto or Ultraman membaca postingan ini trus mengundang si boy ke Jepang. Hey, hello…my name is Java. I come from Indonesia. Ultraman and Naruto inspire me a lot. And i would like to celebrate my birthday in Japan! (syapa tau pas nyasar ke sini yekan? hahahaha..).
Okay, pertanyaannya adalah. Apa iya si boy ujuk-ujuk udah bisa baca? Iyo ek..saya juga sedikit takjub dibuatnya. Eh tapi jangan bayangin si boy bisa bacanya yang udah landjar djaja kaya pembaca berita di televisi ya. Belum selancar itulah. Tapi intinya dia udah bisa baca. Walau kadang-kadang di huruf yang ada “ng” atau “ny” nya atau yang huruf konsonannya nempel, si boy masih mikir agak lama.
Trus bagaimana itu bisa terjadi? Di sekolahnya diajarin baca kali, Yes? Atau dipaksa sama gurunya harus bisa baca? Trus di rumah juga mungkin tiap hari lo ajarin dan lo paksa supaya pokoknya harus bisa baca sebelum masuk SD? Hmmm…ada gitu yang kaya gini? ADA! Jadi saya pernah diceritain sama teman saya tentang target yang sudah diset untuk anaknya yang kebetulan seumuran sama si boy. Jadi dia menargetkan anaknya harus sudah bisa baca sebelum masuk TK besar. Tiap hari disuruh belajar dan tiap hari teman saya meluangkan waktu untuk mengajari membaca dan menulis di rumah. Dan targetnya tercapai, di akhir TK kecil anaknya udah lancar membaca dan sudah bisa menulis.
Apakah si boy juga tiap hari belajar membaca dan menulis di rumah? Pernah sih punya niat sampai beli kartu Flash Abaca itu lho. Tapi hanya berakhir dengan kartu nya malah dicoret-coret dan sekarang nggak tau ada dimana. Langsung gagal di sesi pertama. Hahahahha… Dan saya dan pak Bojo udah sepakat untuk masalah akademis kita akan selaw bebeh aja dulu lah, anaknya masih TK ini. Jadi kono karepmu le meh ngopo. Kita lebih “galak” di urusan disiplin. Misalnya, kalau dia lupa naro sampah bekas makannya atau tisu bekas pakai di keranjang sampah langsung kena tindakan tegas. (hahah…emak bapaknya galak).
Di sekolah gimana? Saya setiap hari rutin menanyakan si boy tentang segala hal yang terjadi di sekolah. Dan tidak pernah ada laporan kalau “tadi belajar membaca”. Biasanya jawabannya adalah “It was fun. We make Strawberry from paper” atau “I am so happy today!” atau “Today A (sengaja namanya inisial doang ya) not coming to school. B also not coming. She is sick.” Jadi lebih banyak cerita tentang kegiatan dan teman-temannya. Intinya si boy bahagia di sekolah dan tidak ada tekanan sama sekali.
Pada sesi evaluasi dengan wali kelas dan kepala sekolah si boy, mereka juga mengatakan bahwa anak-anak memang dikenalkan huruf untuk persiapan SD. Dan! Dan…ini penting! Dan orangtua dilarang mengajari anak membaca dan menulis di rumah, guys! Katanya biarkan anak melakukan hal-hal yang disukainya, misalnya menggambar (dan mencoret-coret semua dinding di rumah) atau hal-hal positif lainnya. Tapi jangan diajari membaca dan menulis!
Jadi bagaimana bisa si boy bisa membaca? Karena di rumah sama sekali nggak pernah diajari membaca dan menulis, ya pasti sekolahnya lah yang berperan dalam hal ini. Tapi kan anak TK nggak boleh diajari membaca dan menulis? Hmm…rata-rata anak TK besar sudah berusia di atas lima tahun ya, bahkan ada yang udah enam tahun. Dan saya pikir selama anaknya juga senang-senang aja dan sedikitpun tidak merasa tertekan. Why not?
Ada satu hal lagi. Sering dengar kasus nggak kalau anak lebih patuh sama guru daripada sama orangtuanya? Lebih ingat apa yang diajarkan guru daripada orangtuanya? Kenapa ini terjadi? Karena gurunya konsisten. Anak cuma bertemu gurunya 15 jam dalam seminggu. Jadi sang guru bisa menjaga sikap dan ucapannya agar selalu konsisten. Sedang kita orangtua? Kalau saya sih jujur aja, kayanya nggak akan bisa 100% konsisten. Belum lagi interfensi dari pihak dalam maupun pihak luar. Hahahah…you know lah what i mean. So, bijaklah dalam memilih sekolah anak. Cari sekolah yang benar-benar cocok dengan anak. Dan yang konsisten dalam menjalankan program-programnya. Udah gitu aja dulu ya.
Sebenarnya mau cerita juga tentang pengenalan huruf di sekolah si boy yang juga dikaitkan dengan rasa tanggungjawab dan konsistensi. Tapi di lain posting aja kali ya. Nanti kedawan (kepanjangan). 🙂
Happy weekend, semuah… 🙂
Kalki masih Paud nih, mbak. Sama dengan TK kecil sepertinya. Di sekolahnya juga tidak disarankan bagi orang tua mengajari anak membaca dan menulis, cukup dibimbing melakukan aktivitas kesukaannya saja 🙂 Saya dan suami pun nggak pasang target supaya Kalki bisa baca sebelum masuk SD.
Tapi berharap kejutan dari Kalki kan boleh? 😀
Mungkin harus sering-sering dibacain cerita juga, mba. Soalnya si boy juga lumayan sering dibacain buku.Kebiasannya sebelum tidur, kalau nggak minta dibacain buku, minta diputerin musik 🙂
TK bilingual ya, Yes? Kalo TK biasa….kebanyakan malah udah ngajarin anak TK A baca tulis.
Kalo protes karena TK kan mestinya belum diajarin seperti itu, apalagi dikasih PR nulis satu halaman, biasanya ngeles, “Tapi kelas 1 SD udah harus lancar baca.”
Di sekolah pake English dan Indonesia, tapi sekolah nggak nge-claim kalau mereka sekolah bi-lingual.
Untungnya sekolah si boy nggak ada PR PR an…malah nggak boleh belajar baca dan tulis di rumah. Bener mb, soalnya kalau nggak diajari ntar nggak keterima di SD tertentu. Di sini hampir semua SD ada test membacanya, jadi kalau nggak bisa baca nggak akan diterima
Mba, si boy-nya dikasi main gadget ga?
Sabtu Minggu bebas main gadget sepuasnya. Senin – Jumat nggak boleh 🙂
Jadi sebenarnya, anak diajarkan membaca sejak dini tak apa ya, Mbak? Asal mereka happy dan tidak merasa terbebani dengan hal itu.
Menurutku juga gitu, mba…siapa tahu juga kan anaknya emang minatnya di bidang bahasa 🙂
Akupun ga mau ngajarin anakku baca tulis mba.. Masih paud ini. Padahal yaa, zamanku dulu, papa ngajarin aku suka ama buku dr bayi, dilanjutin baca dr umur 2.5 thn, dan 3 thn aku udh lancar.. Sementara anakku, udah 5 thn, dia baru kenal huruf doang :D. Bacanya blm bisa. Tp ngikutin pendidikan skr, yo wislah.. Anak jgn dipaksa baca dr kecil.. Tapi kalo aku dulu, jujurnya aku memang suka banget utk belajar baca dan menurut papa paling semangat kalo bljr baca, krn ga sabar mau baca sendiri semua buku2 anak yg dibeliin papa 🙂 .
Iya aku setuju, jangan dipaksain. Kalau dianya yang minat kita support, kalau memang belum mau belajar tunggu aja waktu yang tepat.
Orangtua emang ngaruh banget ya, say…makanya kita nggak perlu banyak ngomong ya tinggal contohin aja hal-hal yang kita pengen dilakukan anak-anak…termasuk rajin baca buku 🙂
Lah, di boyolalai sini, anak TK sudah diajarkan baca alquran sama baca dan angka ik.
Tapi aneh juga ketika di TK tidak diajarkan baca tulis, tapi pas di SD harus bisa baca tulis.
Nah itu makane. Temenku dulu ada yang anaknya sekolah di TK yang blaaasss nggak ngajari baca tulis. Jadinya sebelum masuk SD harus belajar baca secara intens selama tiga bulan biar bisa masuk SD yang diinginkan.