Jadi beberapa hari yang lalu, saya ngobrol (nggak) cantik dengan seorang sahabat. Iya, nggak cantik, karena ngobrolnya pakai emosi yang meluap-luap. Adapun sumber dari emosi nehatif yang diluapkannya adalah karena beberapa pertanyaan dan pernyataan tentang profesinya sebagai ibu bekerja beranak dua yang (kata orang) gaji suaminya aja sebenarnya udah cukup untuk keperluan segala macam.
Sebenarnya pertanyaan dan pernyataan serupa sudah sering pake banged sih dilontarkan kepada si teman ini. Biasanya dia cuek aja dan nggak terlalu mempermasalahkan, katanya kalau ada yang nanya-nanya paling dijawab sebisanya dan diberi senyuman. Hmm..udah kaya ujian kenaikan kelas aja ya, pake harus jawab pertanyaan sulit segala. Tapi kali ini sepertinya karena kondisi hati dan raga yang sedang hayati lelah bang, maka meledaklah itu si emosi. Meledak dan ngamuk sama ibu-ibu yang bikin dia syebel ituh? Tentu saja tidak! Di depan ibu-ibu yang telah menyakiti perasaannya itu mah dia tetap anggun lembut emosi stabil tanpa cela. Dia ngamuknya ke saya, lewat texting message...hahahahha… 😀
………..gue heran deh sama si ibu satu itu. selalu aja sibuk ngurusin gue. trus dia itu ngomongnya seolah-olah anak-anak gue adalah anak paling menderita sejagad raya karena ditinggal kerja emaknya. Katanya gue harusnya nggak boleh egois, harusnya lebih mementingkan anak daripada karir. Heloowww….emangnya gue kerja buat siapa kalau bukan buat anak gue?
Begitulah penggalan emosi dari seorang ibu bekerja. Saya sebagai teman yang baik dan (pura-pura) bijaksana hanya bisa memberi masukan membosankan yaitu “sabar ya! udah, nggak usah dipikirin.” Because i really know that she actually do not need any advise, dia cuma butuh seseorang yang mendengarkan keluh kesahnya.
Saya juga sebenarnya seorang ibu bekerja yang harus meninggalkan anak balita di rumah. Tapi saya sedikit lebih beruntung karena tinggal di kota kecil yang jarak dari rumah ke kantor cuma lima menit dengan kendaraan. Kadang-kadang memang harus lembur karena saya bekerja dengan customer dan kolega yang ada di negara dan timezone yang berbeda, tapi se urgent-urgent nya pendingan pekerjaan yang saya hadapi biasanya paling lama jam tujuh or delapan malam pasti udah nyampe rumah. Itu juga jarang. Business trip juga nggak terlalu sering. Lingkungan sekitar saya juga nggak ada yang rese dengan status saya sebagai ibu bekerja.
Trus kenapa harus kerja sih? Kenapa nggak di rumah aja ngurusin suamik dan anak? Mungkin sama dengan alasan teman saya dan sebagian besar ibu-ibu bekerja yang lain, alasan utama untuk (rela) bekerja adalah karena faktor ekonomi. Iya, shay. Karena we need the money. Tapi mungkin. Mungkin. Mungkin ya, ada beberapa alasan lain yang tidak kita ketahui. Setiap orang punya latar belakang dan masalah yang berbeda-beda kan? Dan sebenarnya kita juga nggak perlu tahu kan kenapa seorang ibu memilih untuk bekerja. Kadang-kadang ya, kita menanyakan sesuatu ke orang lain cuma sekedar basa-basi. Atau karena nggak ada bahan obrolan. Tapi bisa jadi lho, sesuatu yang menurut kita remeh itu malah menyakiti perasaan orang yang kita tanyai.
Seperti yang dialami teman saya. Kita nggak tahu pasti kan apa motivasi dari ibu tersebut. Mungkin perlu diketahui ya, hal-hal apa saja yang sebaiknya tidak ditanyakan kepada ibu bekerja (yang lagi sensi). Ini versi teman saya yang marah-marah di tengah malam lewat message ya…hahahha….yuk mari kita simak 🙂
Kalau ibunya bekerja, anaknya di rumah sama siapa?
Biasanya kalau dijawab, lanjut ke statement : “kasian ya neneknya, di masa tua malah momong cucu” atau “kasian ya anaknya, jadi anak pembantu”. Trus kalau gue jawab sama gorilla gue langsung dilaporin ke KPAI nggak ya? Mengertilah bahwa ketika seorang ibu sudah memutuskan untuk bekerja, mereka sudah memikirkan dan menyiapkan seseorang atau beberapa orang yang mendampingi anaknya.
Apa nggak kepikiran anak kalau pergi ke luar kota berhari-hari gitu?
Menurut lo? Pertanyaan ini sama dengan nanyain orang ngantuk mau tidur atau nggak? Jadi sebenarnya udah tahu jawabnya, tapi masih tetep kepo pengen tahu jawaban dari si ibu bekerja. Lha wong pas di kantor aja pasti kepikiran sama anak, apalagi kalau (terpaksa) ninggalin ke luar kota atau luar negeri.
Kenapa harus bekerja? Gaji suami cukup kan?
Ini adalah salah satu pertanyaan (atau tepatnya sebuah saran yang sok tau) yang bikin emosi teman saya langsung memuncak. Ibuk tau berapa gaji suami saya? Ibuk tau berapa pengeluaran saya sebulan? Kenapa masih mempertanyakan kenapa harus bekerja? Percayalah, seorang ibu memutuskan untuk bekerja pasti karena mereka memang butuh. Nggak mungkin cuma untuk mengisi waktu luang.
Nggak sayang sama masa usia emas anak yang terlewatkan karena ibu bekerja?
Ini khususnya buat ibu yang punya anak balita. Menanyakan hal ini sama dengan memberi cuka di luka yang belum kering. Sakit, shay! Kayanya hampir semua ibu bekerja tahu dan sadar bahwa lima tahun pertama adalah usia emas anak ya. Tapi situasi dan kondisi mengharuskan ibu meninggalkan si kecil di hari Senin sampai Jumat jam delapan pagi sampai jam lima sore. Masa usia emas anak nggak sepenuhnya terlewatkan tanpa kehadiran ibu kok. Tenang! Masih banyak moment dan hari-hari lain yang dilewatkan si anak bersama ibunya. Ibu bekerja tahu bagaimana cara mengakalinya.
Pilih Karir atau Anak?
Kalau bilang pilih anak pasti trus ditanya lagi : Kenapa nggak resign aja? Kalau bilang pilih karir pasti langsung dicap jadi ibu paling egois sejagad raya. Kalau disenyumin eh malah dimanyunin. Hahahhaha….
Sebenarnya masih banyak pertanyaan dan pernyataan yang bikin sensik si teman saya tadi. Tapi cukuplah lima itu saja yang diamalkan ya. Eh…maksudnya sebisanya nggak perlulah kepo banget nanyain hal-hal yang sebenarnya sama sekali nggak ada hubungannya ama kehidupan kita. Kecuali kalau si ibu bekerja tiap hari minta tolong kita untuk jagain anaknya. Atau si ibu bekerja sering curhat bingung mau pilih resign atau tetap bekerja. Seperti yang saya bilang tadi. Kadang kita menanyakan sesuatu ke orang lain cuma sekedar basa-basi. Atau karena nggak ada bahan obrolan. Tapi bisa jadi lho, sesuatu yang menurut kita remeh itu malah menyakiti perasaan orang yang kita tanyai.
serba salah dan dilema, orang cuma ngeliat luarnya saja dan yang paling ideal bagi mereka coba dibalik ya,, duh
banyak memang yang seperti itu. teman saya juga tadinya cuek aja. tapi kalau udah keseringan emosi juga kali ya
Nah…saya jg sering kena beginian mak 🙂 Tapi ya sudahlah…mo distop yg suka nanyak2 itu koq kayaknya ga bisa. Mereka kan butuh aktivitas juga : aktivitas bertanya 😉
mungkin tanda cinta mereka kali ya. bentuk dari perhatian 🙂
Paling gampang emang ngomentarin hidup orang lain yak. Lupa kalau battle field hidup orang lain beda-beda.
hobi komen dan kepo, untungnya di sekitarku hampir nggak ada yang seperti itu 🙂
Heran memang kalo kebanyakan orang suka nanya cenderung nyinyirin hidup orang lain, ya. Padahal kalo dia dihadapkan sama pilihan yang sama, pasti bingung juga. Yah, prioritas orang beda-beda. Semua juga ada plus minusnya :).
iya, kasian kalau si ibu yang ditanya-tanya jadi kepikiran kan. kalau orangnya ndableg sih mungkin ga masalah
Tiap orang punya alasan masing-masing mengenai jalan hidup yang dipilih. Padahal orang yang komentar tersebut bukan orang yang ngasih duit. Kalau dia komentar kayak gitu lagi, mintain duit aja buat biayain hidup anaknya. *eh*
hahahha…aku juga kalo diresein gitu pengen bilang : “Ya udah aku resign deh. Tapi tolong ya tiap bulan kamu transfer minimal sebulan gajiku ke rekeningku ya” 😀
Ngakak total sama: anak dijagain Gorilla wkwk
Memangnya sudah kodrat orang itu kepo bukan karena mo kasih solusi, tetapi nyari emosi
Hobi kayaknya, mak 😀
Kalau kelima pertanyaan itu diajukan padaku, aku gak baper mba. Kuanggap si penanya pengen kerja juga sih sebenernya hahaha
Hahahahaha…..iya kalo kita baper dia malah seneng.
ih… biarin aja, jeng! nanggepin omongan orang mah gak ada abisnya, shay!
*macak jadi ibu ibu