Jadi gegara postingan saya tentang si boy yang menanyakan apakah dia akan diberikan sesuatu karena dapat nilai rata-rata sembilan lima di semester pertamanya, tapi trus emaknya tidak memberikan apa-apa….maka saya pun mendapatkan beberapa pendapat lewat inbox facebook. Inbox ya, sis 🙂 Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan bahwa saya sedikit kezam dan tega sama anak.
Okay, postingan di facebook nya kaya apa sih, Yes? Check this out ya…
Sebelumnya, saya (serius kih ketoke 😆) mau menyampaikan bahwa cerita-cerita tentang si boy yang saya update di facebook tidak punya tujuan tertentu. Cuma karena endingnya selalu “piye ngono….” akhirnya saya tulis di facebook. biar ada bahan juga buat update status. Ah ya, yes…he speaks in English. Nggak tahu kenapa juga, kalau sama emaknya dia cenderung pakai bahasa Inggris, sama pakne bahasa Indonesia campur Jawa.
Trus kalau ada yang kirim inbox bilang kok ibunya galak banget, ga menghargai kerja keras anak, dan tega. hmm…mungkin si ibu mengkondisikan situasi tersebut pada anaknya ya, atau pada orang yang dia kenal dekat. Jadi saya akan maklum. Tapi saya cuma mau bilang, setiap anak tumbuh pada lingkungan yang berbeda, kondisi yang berbeda dan, yang terpenting : punya karakter yang berbeda. Jadi secara otomatis anak juga akan memberikan respon yang berbeda dan merasakan perasaan yang berbeda pada sebuah kondisi atau peristiwa yang mereka alami.
Si boy sudah dibiasakan dengan penolakan yang logis, iya, setiap penolakan harus dijelaskan kenapanya, jarang sekali kami menolak dengan “pokoknya nggak boleh”. Sebisa mungkin dijelaskan kenapa, kalau lagi mumet dan nggak menemukan kata-kata yang tepat, biasanya kami akan bilang “we will discuss about this later”. Si boy juga selalu diarahkan untuk “tell me about your feeling, your thought. i will listen to you. and don’t worry everything can be discussed”.
Tentang reward, apakah perlu memberikan reward untuk pencapaian anak? Saya juga belum tahu pasti kira-kira penyebabnya dari mana kenapa si boy kepikiran untuk minta reward untuk pencapaian yang dia dapat. Selama ini sistem reward tidak begitu sering kami pakai untuk dia. Ya, pernah sih. Tapi jarang banget. Dan selalu, pemberian reward nya juga dengan perjanjian. Misalnya, dia berhasil melakukan sesuatu yang sulit, maka dia akan diberikan sesuatu sesuai perjanjian. Dan biasanya sesuatu yang diberikan adalah hal atau benda yang dia inginkan. Jadi, bisa dibilang sebenarnya trigger-nya adalah dia menginginkan sesuatu, trus dia dapat “tugas”. Dan reward nya adalah sesuatu yang dia inginkan itu.
Untuk pencapaian, saya dan pak bojo sepakat untuk tidak memberikan reward untuk pencapaian. Walaupun sebenarnya, si boy dapat reward dari beberapa orang lain. (hahaha..you must know who they are…). Karena khawatir di kemudian hari si boy cenderung akan mengharapkan sesuatu untuk segala sesuatu yang dicapainya. Jadi kami lebih fokus ke proses yang dia jalani, bukan hasil yang dia dapat.
Duh kasian banget anaknya? Tentu sebagai pengganti reward untuk pencapaian, kami memberikan apresiasi untuk proses yang sudah dia jalani. Jadi kita cenderung fokus ke prosesnya, bukan ke hasil. Jadi waktu dia dapat nilai bagus tapi nggak belajar, kita cenderung “mengabaikan”, tapi waktu dia akhirnya berhasil mencapai sesuatu dengan “banyak usaha”, kita apresiasi usaha yang sudah dia lakukan. Dan bentuk apresiasi tidak harus selalu dalam wujud benda kan?
Dan nilai sembilan lima yang dia dapat di semester satu, benar tidak mendapat reward apa-apa. Apakah lantas si boy sedih dan murung (dan pantas dikasihani seperti kata ibu cantik yang kurang saya kenal sebenarnya) karena tidak dibelikan cheap toy atau pempek atau cilok? Tidak sama sekali. Penjelasan saya bahwa tidak ada kesepakatan, kali ini cukup membuatnya menerima kenyataan. Dan, anda tidak tahu kan kalau di akhir pembicaraan terjadi pembicaraan seperti ini :
👦 :How about celebrating my first raport result in our favorite restaurant? I will order pizza, my favorite pizza. What will you order, mom? Your favorite coffee?
👩 :🙄🙄🙄🙄🙄🙄
Trus aku kudu piye nek ngono kuwi? 😀
picture from here
iki kira kira sing mbayar pizza emaknya apa si boy?
hihihi…
kira kira bisa diterapkan mulai umur berapa mba atau pada fase apa?
ummm….aku lupa e tepatnya mulai kapan. kayanya mulai dia masuk PAUD. tapi menurutku kek kek gitu liat karakter anaknya juga, jadi ga bisa langsung diaplikasikan ke semua anak 🙂