Pertengahan Januari yang lalu, saya bersama Bapak, menghadiri acara wisuda adik bungsu saya. Iya, ibu kami sudah berpulang enam belas tahun yang lalu, itu sebabnya ibu tidak bisa menghadiri acara wisuda hari itu. Dan saya sebagai anak tertua, “dinobatkan” oleh adik-adik saya yang lain untuk mendampingi bapak. Undangan hanya tersedia untuk dua orang, jadi adik-adik saya dan keluarga yang turut hadir hanya bisa menunggu di luar gedung wisuda.
Di penghujung acara, paduan suara universitas membawakan lagu “Bunda” dengan iringan piano yang sukses menyayat hati. Di sebelah saya, seorang ibu berusia sekitar limapuluh tahun tak kuasa menahan tangisnya. Beliau datang dari Purworejo, hari ini anak perempuannya juga wisuda. Saya sempat mengobrol sebelum acara dimulai. Beliau juga sempat bertanya dengan sedikit tatapan heran siapa yang wisuda (mungkin karena saya tampak muda dan tidak tampak seperti ibu yang punya anak kuliahan …hahahha). Lalu ketika saya bilang adik, dan ibu tidak bisa datang karena sudah tiada, beliau terdiam.
Tak hanya airmata, beliau juga menangis terisak. Bahkan ketika lagu sudah selesai, beliau masih terisak. Sekuat tenaga, saya menahan airmata agar tidak jatuh. Karena kalau saya membiarkan satu tetes saja jatuh membasahi pipi saya, maka susah untuk menghentikannya. Dan untungnya saya bisa menahan diri untuk tidak menangis.
Mendengarkan lagu itu, selalu sukses membuat saya mengingat salah satu impian saya yang tak akan pernah bisa terwujud. Melihat ibu menua dan bahagia dikelilingi cucu-cucunya. Saya sering membayangkan bagaimana seharusnya hidup berjalan dengan kehadiran ibu, bagaimana hari-hari yang akan kami lewati bersama. Tentu tidak akan selalu manis, tapi pasti jauh lebih baik dan berwarna dibanding tahun-tahun yang terlewati tanpanya.
Menyadari bahwa ibu saya sudah tidak ada di dunia ini lagi, pelan-pelan mengalirkan perasaan sedih ke kedalaman hati saya. Lalu menyentuh luka kehilangan yang akan selalu sakit ketika tersentuh oleh hal apapun yang berhubungan dengan ibu. Hidup memang harus terus berlanjut, tapi jangan memaksakan untuk tidak sedih jika kesedihan itu memang datang menghampirimu, terima, rasakan dan biarkan ia pelan-pelan menguap. Karena orang setegar apapun pasti punya kesedihan masing-masing.
Setelah lagu “Bunda”, salah satu dari wisudawan membawakan lagu “Ayah” yang juga sukses membuat para hadirin hanyut dalam haru, kembali ibu di sebelah saya menangis terisak. Dan saya lagi-lagi harus menahan diri untuk tidak ikut hanyut. Lalu saya melirik Bapak, beliau dulu sering menyanyikan lagu ini sambil bermain gitar. Oh ya, bapak saya juga mantan pemain band di masa mudanya, sebagai gitaris sekaligus vocalist. Sayangnya, bakat ini tidak turun ke saya. Hahahahah…. Bapak tampak sangat menghayati lagu yang sedang dibawakan wisudawan bersuara merdu itu, beliau pasti teringat akan Ompung (bapaknya Bapak).
Begitulah, pun ketika kita sudah dewasa dan bahkan menua, ternyata masih tetap terikat pada status anak yang kita miliki. Label ibu si A atau ayah si B atau istri di C atau suami si D mungkin telah mendominasi status kita selama ini, tapi ternyata ada satu status yang telah melekat sejak kita lahir, dan ternyata tidak bisa lepas hingga kita menua.
Ah, baiklah. Sebenarnya hanya satu yang ingin saya sampaikan, sayangi hormati dan bahagiakan orangtua kalian. Dan satu hal lagi, mereka bahagia ketika melihat kita bahagia.
So, where is your mom? Have you say hello to her today?
Aku baca tulisan ini aja mau nangis lho mbak, jadi inget ibu. Walaupun hanya berjarak tidak lebih dari 60km dari rumah ibu, tapi rasanya jauh setelah aku berumah tangga.
Aku paling gak bisa nahan akhir mata saat mendengar lagu Bunda, apalagi acara penting seperti wisuda. Ibu memang segalanya yang akan selalu dirindukan sampai kapanpun.
Udah setua ini pun dan anak udah banyak pun, tetep aja kalau ketemu dan di dekat ibu, aku merasa tetep anak2 😅 Ibuku juga gitu, tetep aja pengennya ngurusin aku. Jadi kangen sama ibu deh 😓
Tiap kali mendengar lagu Bunda memang bikin sedih dan kadang-kadang harus menahan air mata biar gak jatuh, meskipun ibu saya masih ada.
Yang paling menyedihkan bagiku adalah walau aku selalu terharu membaca artikel ttg ibu, namun aku tetap saja kaku untuk sekadar bilang i love u padanya. Hiks 🙈
Ibuku cerewet tiap hari ngomel-ngomel, yang di highlight di setiap omelannya sekarang adalah menyuruh aku buat segera nikah tahun ini hahaha
Dua lagu itu jawaranya membuat tangis membuncah. Saya pun tergugu saat lagu bunda mengalun. Belum bisa bahagiakan Mama sepenuhnya, Alhamdulillah kami masih sering bersua walau beda kota. Apalagi sejak ada video call…senang melihat wajah riangnya tiap hari
Semoga selalu bisa membahagiakan ortu ya.. bapak, ibu… juga saudara2 yang lain..
Bikin sendu Pagi-pagi baca ini mbak. Semoga ibunya tenang dan bahagia di sisi Allah ya. Saya pun kalo bicara tentang ibu pasti bawaannya langsung sedih, ngerasa belum banyak berbakti sama beliau
Disetiap omelan dan cerewetnya ibu tuh ada segudang cinta dan sayang yaaa, aaah aku terharu
Ibuku juga udah gak ada Mak, bahkan sebelum melihatku menikah. Coba kalo masih ada pasti seneng banget lihat cucunya banyak yang cowok.
Para anak harusnya bersykur masih punya ortu. Soalnya doa ibu itu makbul. Selagi ada ibu minta doa yg banyak. Hiks
Aku jadi ingat kalau Ibu suka banget lagu “Mother, How Are You Today?”
Aku gak tau siapa yang nyanyi…tapi asal Ibu menyanyikan lagu itu…pingin rasanya peluk Ibuuu~
Aku sama Ibu ituuu…hubungannya gak romantis.
Karena Ibu gak suka yang berlebih-lebihan.
Jadi itulah yang special dari Ibu.
Hiks jadi kangen ibu, bener kata Mba Niken Nawang Sari. Setelah berumah tangga jarak rumah orangtua dekat mengapa jadi jauh. Kadang, aku sedih banget, bagaimana jika aku menua mengadapi anak-anak yang sudah menikah dan jarang berkunjung? Duh, pagi-pagi mellow
Ibu, adalah sosok yang pasti dekat dengan kita….
Mari muliakan beliau jika masih ada….dan doakan beliau selalu jika beliau sudah tiada.